Silent Majority di Tengah Pemilu Penuh Kontroversi
Dalam pesta demokrasi terkini, kemenangan Prabowo-Gibran telah menjadi sorotan yang mengejutkan banyak pihak. Di balik kehebatan propaganda yang gencar dari pendukung capres nomor satu dan tiga di media sosial, terdapat kekuatan yang tak terlihat namun sangat berpengaruh: Silent Majority.
Kelompok masyarakat biasa ini, yang selama ini lebih suka merangkul diam ketimbang menunjukkan identitas politiknya, akhirnya memberikan hukuman kepada oligarki, tokoh agama, akademisi, dan aktivis yang dianggap sombong. Pada pandangan pertama, mungkin sulit dipahami mengapa Prabowo-Gibran meraih kemenangan begitu besar meski pendukung rival mereka agresif dan massif dalam menyebarkan propaganda.
Faktor utama keberhasilan ini, sebagaimana dilihat oleh Silent Majority, adalah kejenuhan terhadap sikap angkuh kaum elite politik dan oligarki. Mereka muak melihat bagaimana tokoh seperti Megawati, Puan, dan PDIP selalu merendahkan Jokowi, yang dianggap sebagai simbol dari jutaan orang pemilih.
Fans bola dan olahragawan dari kalangan Silent Majority turut merasa kecewa melihat elit politik yang mencampuradukkan olahraga dan politik, seperti penolakan timnas Israel di Piala Dunia Junior demi kepentingan elektabilitas Ganjar. Kekecewaan juga meluas di kalangan kaum Islam abangan dan non-muslim terhadap kampanye politik yang memanfaatkan identitas agama.
Kecaman ditujukan pula kepada tokoh agama, terutama Habib garis keras dan pendukungnya yang terlibat dalam kampanye 01, bahkan dengan ancaman dan intimidasi terhadap yang tidak sependapat. Ironisnya, banyak dari mereka adalah imigran dan pendatang yang dianggap menumpang hidup enak di Indonesia.
Para akademisi juga menjadi sasaran kekecewaan Silent Majority, terutama yang dianggap tidak adil dalam mengkritik. Ketika Jokowi memasangkan anaknya dengan Prabowo, kritik bermunculan, tetapi diam seribu bahasa ketika wacana serupa diajukan oleh kubu 01 dan 03 sejak tahun 2022.
Kekecewaan terhadap para aktivis dan SJW juga tak terelakkan. Mereka dianggap menyerang, menghakimi, dan menghina para pendukung 02 tanpa memahami kebebasan demokrasi. Aksi demo yang menggerakkan mahasiswa dan merilis video "Dirty Vote" di masa tenang menjadi puncak kekecewaan ini.
Meski begitu, Silent Majority merasa bahwa isu pelanggaran HAM yang selama ini digaungkan oleh para pendukung 01 tidak pernah mengarah pada proses hukum terhadap Prabowo. Selain itu, kegagalan dalam penegakan hukum dan kongkalingkong di era Jokowi dianggap sebagai kegagalan Menkopolhukam Mahfud MD, bukan Jokowi sendiri.
Film "Dirty Vote" juga mendapat sorotan tajam. Dianggap melanggar hukum karena dirilis di masa tenang, film tersebut dianggap membosankan oleh Silent Majority, sekaligus terlalu panjang dan terlalu berat sebelah.
Pada akhirnya, Silent Majority memberikan pelajaran berharga: jangan meremehkan mereka yang tidak berpartai, tidak terlihat, dan tidak bersuara secara partisipatif. Mereka bukanlah orang bodoh, melainkan pengamat diam yang secara cermat menilai setiap tindakan dan pernyataan tokoh-tokoh yang berkuasa. Keberhasilan Prabowo-Gibran menjadi simbol bahwa keheningan bukan berarti ketidakpedulian; seringkali, itu adalah pertanda bahwa sesuatu yang lebih besar sedang berkembang di balik layar.
Komentar
Posting Komentar