Tantangan Seksualitas Remaja Indonesia
Berita baru-baru ini menunjukkan gambaran yang cukup mengkhawatirkan tentang perilaku remaja di Indonesia, khususnya di wilayah Jabotabek. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 51 persen remaja di Jabotabek telah terlibat dalam hubungan seks pra nikah. Selain itu, perkiraan jumlah aborsi pada tahun 2010 mencapai 2,4 juta jiwa, dengan 800 ribu kasus dilakukan oleh remaja. Dalam situasi ini, pertanyaan yang muncul adalah, "Apa yang terjadi dengan remaja Indonesia?"
Untuk memahami kondisi ini, kita perlu melihat konteks masa remaja. Masa remaja, sebagaimana dijelaskan dalam buku "The Adolescent: Development, Relationships, and Culture," adalah periode di mana individu mulai tertarik pada isu-isu seksualitas. Awalnya, ketertarikan ini bersifat self-centered, berkaitan dengan perubahan dalam diri sendiri. Namun, seiring waktu, remaja mulai tertarik pada lawan jenis dan terlibat dalam perilaku seksual, mulai dari berkencan, bercumbu, hingga hubungan intim.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa remaja saat ini terlihat semakin terbiasa dengan perilaku seksual, dengan sikap permisif yang mengizinkan berbagai bentuk interaksi intim. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh keinginan melakukan perilaku tersebut, tetapi juga oleh pengaruh media massa, norma sosial, sikap orang tua, dan pola berpacaran.
Sebagai dewasa, ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah ini. Penting untuk tidak memberlakukan larangan yang ketat terhadap perilaku seksual remaja, karena larangan semakin memicu rasa penasaran, terutama bagi remaja pemberontak. Sebaliknya, pendidikan seksual yang benar dan seimbang perlu diberikan oleh orang tua dan sekolah. Ini penting agar remaja memahami pentingnya bertanggung jawab dalam mengelola hubungan mereka.
Penting juga untuk memperhatikan lingkungan pergaulan remaja. Memberikan kebebasan yang diimbangi dengan aturan yang jelas akan membantu remaja membuat keputusan yang bijak. Melarang tidak sama dengan membatasi ruang lingkup mereka; sebaliknya, dengan memperhatikan pola pergaulan, kita dapat memberi dukungan dan bimbingan yang diperlukan.
Selain itu, penting untuk menyadari bahwa remaja bukanlah robot yang dapat diprogram oleh orang dewasa. Mereka memiliki pikiran, perasaan, dan kemampuan untuk memilih perilaku mereka sendiri. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat mendidik dan mendukung, daripada membatasi dan melarang, akan lebih efektif dalam membantu remaja menghadapi tantangan seksualitas mereka.
Melalui upaya bersama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan remaja dengan memberikan pemahaman yang benar tentang seksualitas, memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, dan memastikan bahwa mereka merasa didukung dalam mengambil keputusan yang positif untuk masa depan mereka.
Komentar
Posting Komentar